Senin, 10 Januari 2011

Penyakit Geriatric

Penyakit Geriatric

I.  Pengertian
            Geriatric merupakan suatu istilah yang terdiri dari kata geros (usia lanjut) dan iatreia (merawat/merumat), geriatri sendiri mengacu pada cabang ilmu kedokteran yang berfokus pada penyediaan layanan kesehatan bagi manula. (Ignas Leo Vascher, 1909). Seseorang dikatakan lanjut usia, jika telah mencapai usia diatas 60 tahun. (depsos, 2007)
            Untuk menangani penyakit geriatric pada lansia dibutuhkan pendekatan holistik yaitu, perhatian total terhadap pasien secara terpadu dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan, sosial ekonomi, gaya hidup, diagnosis dan terapi penyakit dalam merawat penderita.
            Lansia banyak yang mengidap salah satu penyakit yang dapat menyebabkan komplikasi  jika, tidak ditangani dengan baik seperti, fraktur pada tulang yang dapat menyebabkan osteoporosis atau jika seseorang memiliki angka kolesterol yang tinggi saat lanjut usia dapat menjadi Penyakit Jantung Koroner (PJK), hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati.             Beberapa masalah yang sering muncul pada usia lanjut disebut sebagai a series of I’s, yaitu immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), dan immune deficiency (penurunan kekebalan tubuh). (Kane dan Ouslander)
            Sifat penyakit pada lansia perlu untuk dikenali supaya tidak salah ataupun lambat dalam menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Hal ini akan menyangkut beberapa aspek, yaitu etiologi, diagnosis dan perjalanan penyakit. Etiologi, penyakit pada lansia lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini disebabkan oleh menurunnya berbagai fungsi tubuh karena proses menua, etiologi sering kali tersembunyi (Occult), dan sebab penyakit dapat bersifat ganda (multiple) dan kumulatif (penimbunan), terlepas satu sama lain ataupun saling mempengaruhi. Diagnosis, penyakit pada lansia umumnya lebih sulit dideteksi dari pada remaja atau dewasa, karena gejala dan keluhan sering tidak jelas. Perjalanan penyakit, Pada umumnya perjalanan penyakit adalah kronik (menahun) diselingi dengan eksaserbasi akut, penyakit bersifat progresif (bertahap), dan sering menyebabkan kecacatan (invalide).
            WHO, mengembangkan konsep kriteria mundurnya kemandirian secara bertingkat, seperti berikut
Penyakit/gangguan
(intrinsic)

Hambatan
(impairment)
(exteriorized)

Disabilitas
(Objectified)

Handicap
(socialized)
Imapirment    : Kehilangan (kelainan) baik psikologik, fisiologik, struktur atau                                  fungsi anatomik.
Disabilitas      : Semua retriksi (kekurangan mampuan) untuk melakukan                                                   kegiatan yang dianggap dapat dilakukan oleh orang normal.
Handicap        : Suatu ketidakmampuan seseorang sebagai akibat impairment
                          atau disabilitas sehingga membatasinya untuk melaksakan
                          peranan hidup secara normal.

II.  Gejala kemunduran fisik menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis
1.  Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang menetap
2.  Rambut kepala mulai memutih atau beruban
3.  Gigi mulai lepas (ompong)
4.  Penglihatan dan pendengaran berkurang
5.  Mudah lelah dan mudah jatuh
6.  Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah

III.  Kemunduran kognitif yang dialami, antara lain
1.  Suka lupa (ingatan tidak berfungsi dengan baik)
2.  Ingatan pada hal-hal di masa muda lebih baik dari hal-hal yang baru terjadi
3.  Sering adanya disorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang
4.  Sulit menerima ide-ide baru
5.  Keseimbangan antara badan, penglihatan, dan pendengaran berkurang.

IV.  Masalah Fisik Sehari-hari pada Lansia
1.  Mudah jatuh
a.  Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Ruben, 1996).
b.  Jatuh dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intrinsik (gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekuatan sendi dan sinkope-dizziness), dan faktor ekstrinsik (lantai yang licin dan tidak rata, tersandung oleh benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya yang kurang terang).
2.  Mudah lelah, disebabkan oleh
a.  Faktor psikologis: perasaan bosan, keletihan, depresi
b.  Gangguan organis: anemia, kurang vitamin, osteomalasia, dll
c.  Pengaruh obat: sedasi, hipnotik

V.  Karakteristik Penyakit Lansia diIndonesia
1.  Penyakit persendian dan tulang, seperti rheumatik, dan osteoporosis.
2.  Penyakit Kardiovaskuler, seperti hipertensi, kholesterolemia, angina, cardiac attack, stroke, trigliserida tinggi, anemia, dan PJK.
3.  Penyakit Pencernaan seperti gastritis, dan ulcus pepticum.
4.  Penyakit Urogenital, seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK), Gagal Ginjal Akut/Kronis, dan Benigna Prostat Hiperplasia.
5.  Penyakit Metabolik/endokrin, seperti diabetes mellitus, dan obesitas.
6.  Penyakit Pernafasan, seperti asma, dan TB paru.
7.  Penyakit Keganasan, seperti carsinoma atau kanker.
8.  Penyakit lain, seperti senilis/pikun/dimensia, alzeimer, dan parkinson.



VI.  Rheumatik (Rematik)
           Rematik dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga penurunan fungsi otot, jika otot yang menderita tidak dilatih. Rematik merupakan suatu sindrom, rematik dapat terungkap sebagai keluhan, dan ada tiga keluhan utama pada sistem muskulokelet yaitu, nyeri, kekakuan dan kelemahan serta terdapat tiga tanda utama yaitu, pembengkakan sendi, kelemahan otot, gangguan gerak. Gangguan rematik dapat terus meningkat dengan bertambahnya umur. (Felson, 2001; Boedhi-darmojo, 2010)
           Rematik yang sering terlihat pada lansia adalah osteoartristis, osteoporosis, tendinitis, bursitis,fibromyalgia, low back pain, artropati Basic Calcium Phosphate (BCP), gout, srtritis rematoid, polymyalgia rheumatic, dan arthritis karena keganasan. (Bjelle,2004 dalam Boedhi-darmojo, 2010).
           Penyebab gangguan rematik hingga saat ini telah lebih dari 100 macam, namun belum dapat dijelaskan penyebabnya. Pada lansia rematik dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu mekanik (osteoratritis), metabolik (osteoporosis), pengaruh obat (gout), radang (gout, polymyalgia rheumatic), dan berkaitan dengan penyakit keganasan (neuromiopati).
a.  Osteoartritis (OA)
      OA merupakan penyebab utama terjadinya kecacatan karena rematik.      OA adalah kondisi di mana sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi. Pada sendi, suatu jaringan tulang rawan yang biasa disebut kartilago biasanya menutup ujung-ujung tulang penyusun sendi. Suatu lapisan cairan yang disebut cairan sinovial terletak di antara tulang-tulang tersebut dan bertindak sebagai bahan pelumas yang mencegah ujung-ujung tulang bergesekan dan saling mengikis satu sama lain. Pada kondisi kekurangan cairan sinovial lapisan kartilago yang menutup ujung tulang akan bergesekan satu sama lain. Gesekan tersebut akan membuat lapisan tersebut semakin tipis dan menimbulkan rasa nyeri.
      Penyebab OA beragam. Beberapa riset menunjukkan adanya hubungan antara osteoarthritis dengan reaksi alergi, infeksi, dan invasi fungi (mikosis). Riset lain juga menunjukkan adanya faktor keturunan(genetik) yang terlibat dalam penurunan OA, namun beberapa faktor risiko terjadinya OA sebagai berikut wanita berusia lebih dari 50 tahun, kelebihan berat badan (meningkatkan gaya sendi wet, menyebabkan generasi kartilago, meningkatan masa tulang subkondrium yang dapat menimbulkan kekakuan pada tulang sehingga menjadi kurang lentur terhadap dampak beban muatan yang akan mentrasmisikan lebih besar gaya pada kartilago artikuler yang melapisi atasnya dan dengan demikian memuat tulang tersebut lebih rentan terhadap cidera), trauma berulang (kerusakan pada ligamentum krusiatum dan robekan menikus), kelainan konginental yang menimbulkan OA premature misalnya dislokasi sendi coxa, herediter dan penyakit timbunan Kristal dalam cairan sinovial antara (1,8-60)% pada penderita, aktivitas fisik yang berlebihan, seperti para olahragawan dan pekerja kasar (kebiasaan berlutut), dan menderita kelemahan otot paha.
      Tipe OA ini meliputi proses inflamasi primer. Wanita pascamenopause dalam keluarga yang sama memiliki tipe OA pada tangan yang ditandai dengan timbulnya nodus pada sendi interfalang distal dan proksimal tangan.
Gangguan congenital dan perkembangan pada koksa sudah diketahui benar sebagai predisposisi dalam diri seseorang untuk mengalami osteartritis koksa.
      ETIOLOGI
a) Usia lebih dari 40 tahun
b) Jenis kelamin, wanita lebih sering
c) Suku bangsa
d) Genetic
e) Kegemukan dan penyakit metabolic
f) Cedera sendi , pekerjaan, dan olahraga
g) Kelainan pertumbuhan
h) Kepadatan tulang
      Manifestasi klinis osteoarthritis primer adalah rasa nyeri, kaku, dan gangguan fungsional. Nyeri pada osteoarthritis disebabkan oleh inflamasi sinova,peregangan kapsula dan ligamentum sendi, iritasi ujung-ujung saraf dalam periosteum akibat pertumbuhan osteofit, mikrofraktur, trabekulum, hipertensi intraoseus, bursitis, tendonitis, dan spasme otot. Gangguan fungsional disebabkan oleh rasa nyeri ketika sendi digerakkan dan keterbatasan gerakan yang terjadi akibat perubahan structural dalam sendi. Meskipun osteoarthritis terjadi paling sering pada sendi penyokong berat badan ( panggul, lutut, servikal, dan tulag belakang), sendi tengah dan ujung jari juga sering terkena. Mungkin ada nodus tulang yang khas, pada inspeksi dan palpasi biasanya tidak ada nyeri, kecuali ada inflamasi.
      Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan laboratorium darah tepi, imunologi dan cairan sendi umumnya tidak ada kelainan, kecuali osteoarthritis yang disertai paradangan. pada pemerikasaan tomography didapatkan penyempitan rongga sendi disertai sclerosis tepi persendian. Mungkin terjadi deformitas, osteoarthritis atau pembentukan kista juksta artikular. Kadang-kadang tampak gambaran taji(spur formation), liping pada tepi-tepi tulang, dan adanya tulang-tulang yang lepas.
            Penatalaksanaan rematik, meliputi :
a. Medikamentosa
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik, hanya bersifat simpotamatik. Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) bekerja hanya sebagai analgesik dan mengurangi peradangan, tidak mampu menghentikan proses patologis.
b. Analgesik
Obat analgesik yang dapat dipakai adalah asetaminofen dosis 2,6-4,9 g/hari atau profoksifen HCL. Asam salisilat juga cukup efektif namun, perhatikan efek samping pada saluran cerna dan ginjal.
c. Jika tidak berpengaruh, atau peradangan tidak mereda maka, OAINS seperti fenofrofin, piroksikam,ibuprofen dapat digunakan. Dosis untuk osteoarthritis biasanya ½ - ⅓ dosis penuh untuk arthritis rematoid. Karena pemakaian biasanya untuk jangka panjang, efek samping utama adalah ganggauan mukosa lambung dan gangguan faal ginjal.
d. Perlindungan sendi dengan koreksi postur tubuh yang buruk, penyangga untuk lordosis lumbal, menghindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit, dan pemakaian alat-alat untuk meringankan kerja sendi.
e. Diet untuk menurunkan berat badan dapat mengurangi timbulnya keluhan
f. Dukungan psikososial
g. Persoalaan seksual pada pasien dengan osteoarthritis ditulang belakang
h. Fisioterapi dengan pemakaian panas dan dingin serta program latihan yang tepat
i. Operasi dipertimbangkan pada pasien dengan kerusakan sendi yang nyata dengan nyeri yang menetap dan kelemahan fungsi
j. Terapi konservatif mencakup penggunaan kompres hangat, penurunan berat badan, upaya untuk mengistirahatkan sendi serta menghindari penggunaan sendi yang berlebihan pemakaian alat-alat ortotail. Untuk menyangga sendi yang mengalami inflamasi (bidai penopang) dan latihan isometric serta postural. Terapi okupasional dan fisioterapi dapat membantu pasien untuk mengadopsi strategi penangan mandiri.
      Pencegahan osteoartritis dapat dilakukan dengan cara mengonsumsi makanan yang bergizi. Beberapa suplemen makanan juga dapat digunakan untuk mencegah penyakit ini antara lain adalah glukosamin dan kondroitin.
b.  Gout
Gout sering terjadi pria. Kriteria diagnostic arthritis gout sebagai berikut
a)    Kristal Urat dalam cairan sendi
b)    Tofus yang mengandung Kristal urat
c)    Enam dari criteria berikut :
1.  Lebih dari satu kali serangan arthritis akut
2.  Inflamasi maksimal pada hari pertama
3.  Artritis Monoartrikuler
4.  Kemerahan sekitar sendi
5.  Nyeri (Bengkak sendi metatarsofalangeal I)
6.  Serangan unilateral pada sendi metatarsofalangeal I
7.  Serangan unilateral pada sendi tarsal
8.  Dugaan adanya tofus
9.  Hiperrurikemia
10.  Pembengkakan asimetri sendi pada foto rontgen
11.  Kista Subkortikal tanpa erosi pada foto rontgen
12.  Kultur mikroorganisme cairan sendi selama serangan inflamasi sendi negatif


VII.  Osteoporosis
           Osteoporosisadalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.

           Epidemiologi, Sementara ini diperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 12 pria di atas usia 50 tahun di seluruh dunia mengidap osteoporosis.

           Osteoporosis terbagi menjadi jenis yaitu Osteoporosis primer dan sekunder. Osteoporosis primer sering menyerang wanita pascamenopause dan pada pria usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui. Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan
§ Cushing's disease
§ Hyperthyroidism
§ Hyperparathyroidism
§ Hypogonadism
§ Kelainan hepar
§ Kegagalan ginjal kronis
§ Kurang gerak
§ Kebiasaan minum alkohol
§ Pemakai obat-obatan/corticosteroid
§ Kelebihan kafein
           Penyebab terjadinya osteoporosis beraneka ragam, seperti berikut
Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen, yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderitaosteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut, biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, adrenal, dan paratiroid) dan obat-obatan (kortikosteroid,barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan.
Tabel 1. Perbedaan osteoporosis tipe pascamenepouse dan senilis

Tipe pascamenepouse
Tipe senilis
Usia terjadi
51-75 tahun
> 70 tahun
Rasio jenis kelamin (W:P)
6:1
2:1
Hilangnya tulang
Terutama trabekuler
Trabekuler dan kortikal
Derajat hilang tulang
Dengan percepatan
Tanpa percepatan
Letak fraktur
Vertebral (crush) dan radius (distal)
Vertebral (multiple, wedge) dan pinggul (femur)
Penyebab utama
faktor yang berhubungan dengan menopause
Faktor yang berhubungan dengan proses menua

           Gejala osteoporosis, kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit.
           Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlahan.
           Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lain yang bisa menyebabkan osteoporosis. Untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Pemeriksaan yang paling akurat adalah DXA (dual-energy x-ray absorptiometry). Pemeriksaan ini aman dan tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit.
DXA sangat berguna untuk:
§ wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis
§ penderita yang diagnosisnya belum pasti
§ penderita yang hasil pengobatannya harus dinilai secara akurat.
Berdasarkan densitas massa tulang (pemeriksaan massa tulang dengan
menggunakan alat densitometri), WHO membuat kriteria sebagai berikut :
Normal
:
Nilai T pada BMD > -1
Osteopenia
:
Nilai T pada BMD antara -1 dan -2,5
Osteoporosis
:
Nilai T pada BMD < -2,5
Osteoporosis Berat
:
Nilai T pada BMD , -2,5 dan ditemukan fraktur
           Mekanisme yang mendasari dalam semua kasus osteoporosis adalah ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Dalam tulang normal, terdapat matrik konstan remodeling tulang hingga 10% dari seluruh massa tulang mungkin mengalami remodeling pada saat titik waktu tertentu. Tulang diresorpsi oleh sel osteoklas (yang diturunkan dari sumsum tulang), setelah tulang baru disetorkan oleh sel osteoblas.
           Tujuan pengobatan adalah meningkatkan kepadatan tulang. Semua wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus mengkonsumsi Ca (kaslium) dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi. Wanita pascamenopause yang menderita osteoporosis juga bisa mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan progesteron) atau alendronat, yang bisa memperlambat atau menghentikan penyakitnya. Bifosfonat juga digunakan untuk mengobati osteoporosis. Alendronat berfungsi untuk mengurangi kecepatan penyerapan tulang pada wanita pascamenopause, meningkatakan massa tulang belakang dan tulang panggul, dan mengurangi angka kejadian patah tulang. Supaya diserap dengan baik, alendronat harus diminum dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam waktu 30 menit sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain. Alendronat bisa mengiritasi lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh berbaring, minimal selama 30 menit sesudahnya. Obat ini tidak boleh diberikan kepada orang yang memiliki kesulitan menelan atau penyakit kerongkongan dan lambung tertentu. Kalsitonin dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang menderita patah tulang belakang yang disertai nyeri. Obat ini bisa diberikan dalam bentuk suntikan atau semprot hidung. Tambahan fluorida bisa meningkatkan kepadatan tulang. Tetapi tulang bisa mengalami kelainan dan menjadi rapuh, sehingga pemakaiannya tidak dianjurkan.
           Pria yang menderita osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan tambahan vitamin D, terutama jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap kalsium dalam jumlah yang mencukupi. Jika kadar testoren rendah, bisa diberikan testosteron.
           Patah tulang karena osteoporosis harus diobati. Patah tulang panggul biasanya diatasi dengan tindakan pembedahan. Patah tulang pergelangan biasanya digips atau diperbaiki dengan pembedahan. Pada kolaps tulang belakang disertai nyeri punggung yang hebat, diberikan obat pereda nyeri, dipasang supportive back brace dan dilakukan terapi fisik.
           Pencegahan osteoporosi meliputi:
§ Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup
§ Melakukan olah raga dengan beban
§ Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu).
           Mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup sangat efektif, terutama sebelum tercapainya kepadatan tulang maksimal (±umur 30 tahun). Minum 2 gelas susu dan tambahan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang sebelumnya tidak mendapatkan cukup kalsium. Olah raga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga) akan meningkatkan kepadatan tulang. Berenang tidak meningkatkan kepadatan tulang.
           Terapi sulih estrogen paling efektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah menopause, tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun setelah menopause, masih bisa memperlambat kerapuhan tulang dan mengurangi risiko patah tulang. Raloksifen merupakan obat menyerupai estrogen yang baru, yang mungkin kurang efektif daripada estrogen dalam mencegah kerapuhan tulang, tetapi tidak memiliki efek terhadap payudara atau rahim. Untuk mencegah osteroporosis, bisfosfonat (contohnya alendronat), bisa digunakan sendiri atau bersamaan dengan terapi sulih hormon.

            

VIII.  Osteomalasi
           Osteomalasi adalah penyakit tulang metabolic yang ditandai dengan terjadinya kekurangan klasifikasi matriks tulang yang normal prevalensi pada lanjut usai adalah 3,7%. Penyakit ini desebabkan oleh kekurangan vitamin D oleh berbagai sebab terutama, kekurangan sinar matahari, malabsorpsi, gastrektomi, penyakit hati kronik, penyakit ginjal, dan obat-obatan.
           Gambaran klinik penyakit ini, sebagai berikut penderita menderita nyeri tulang, nyeri tekan tulang, kelemahan otot, dan sakit. Nyeri dan jatuh berkali-kali dapat menyebabkan imobilitas. Nyeri pada tulang belakang sering mengenai tulang dada, punggung, paha dan tungkai. Nyeri sering memburuk jika dibarengi dengan stress. Kelemahan terutama mengenai otot proksimal dan menyebabkan penderita sulit bangun dari kursi atau tempat tidurnya dan kadang disertai dengan abnormalitas langakah yang lebar. Patah tulang yang berbentuk fisura disebabkan oleh osteomalasia sering dijumpai terutama mengenai batas penelitian didapatkan bahwa osteomalasi mungkin merupakan penyebab fraktur leher femur (20-30)% pada wanita dan 40% pada pria.
           Pemeriksaan lain yang penting meliputi, biokimia tulang, radiologi, skan isotop tulang dan biopsy tulang. Terlihat bahwa kadar kalsium serum normal/rendah, fosfat anorganik rendah, meningkatnya fosfatase alkalis disertai kalsium urin yang rendah dan 25-hidroksikholekalsiferol rendah.  Penderita osteomalasia hipofosfatemik dihubungkan dengan karsinoma prostat, merupakan gambaran khas berupa fosfat serum rendah disertai konsentrasi ambang fosfat ginjal rendah, kadar hormon paratiroid normal, 25-hidroksi D3 dan 1,25 dihidroksi D3 rendah. Hasil radiologi osteomalasia bervariasi, namun bersifat diagnostic adanya zona Looser pada daerah yang terderita. Pemeriksaan biopsy tulang merupakan pemeriksaan yang dapat mengkonfirmasikan diagnosis, walaupun hasilnya meragukan masih mudah didapat.
           Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian vitamin D yang dpat diberikan per oral atau per enternal, atau dengan meningkatkan produksi vitamin D dengan [enyinaran ultraviolet dan diberikan terapi berupa tablet kalsium yang mengandung vitamin Da atau kalsiferol oral per enteral 1000-1500 ui/hari.

IX.  Penyakit Paget Tulang
           Keadaan yang ditandai dengan adanya kombinasi antara peningkatan reabsorpsi dan deposisi tulang, sebagai akibatnya dapat terjadi deformitas dan fraktur tulang. Semua bagian tulang dapat terkena namun paling sering terjadi pada tulang tengkorak, tulang panjang, pelvis, sacrum dan vertebrae.
           Epidemiologi. Penyakit ini sering didapati pada lansia usia 60 tahun sekitar (2-4)%, pada usia >85 tahun sekitar 10%. Penyakit ini memiliki kecendrungan bersifat herediter.
           Gambaran klinik. Gejala dan tanda penyakit paget beragam. Penderita mungkin asimtomatik, namun sering mengeluh nyeri, deformitas tulang, fraktur, komplikasi neurologik dan kardiologik bahkan perubahan neoplasia di daerah yang terkena. Komplikasineuroligik, terkenanya syaraf II,VII,VIII dan cabang syaraf V, serebelum dan obstruksi aliran cairan serebrospinal yang mengakibatkan hidrosefalus internal, dan penekanan medulla spinalis dan serabut syaraf lain.
           Pemeriksaan darah biasanya ditemui nilai fosfatese alkali meningkat disertai kadar kalsium dan fosfat normal d serum. Diagnosis sering didapatkan berdasarkan rontgen tulang, skan isotop atau biopsy tulang.
           Pengobatan dapat menggunakan terapi dengan tujuan mengurangi gejala dan mencegah komplikasi. Bila tidak terdapat keluhan tidak diperlukan terapi. Pada penderita dengan nyeri hebat, komplikasi neurologic atau kardiologik diperlukan pemberian terapi kalsitonin neurologic yang dapat menghambat osteoklas dengan dosis 100 ui/hati selama 6 bulan. Setelah itu terapi dapat disesuaikan dengan gejala yang masih ada. Pemberian difosfonat 200 mg/kg/hari selama 4-6 minggu telah diteliti dengan hasil baik.

X.  Osteosarcoma
           Osteosarcoma adalah keganasan primer kedua yang umum dari tulang belakang multiple myeloma. Osteosarcoma menyumbang 20% dari keganasan tulang primer. Ada preferensi untuk wilayah metaphyseal tulang panjang tabung. 50% kasus terjadi di sekitar lutut. Penghubung jaringan tumor ganas pada diferensiasi sel neoplastik osteoblastik dan bentuk tulang tumoral.
           Osteosarcoma merupakan penyakit keganasan yang dapat dijumpai pada lansia yang dikaitkan dengan patologi tulang yang mendasarinya seperti penyakit Paget, infark meduler, atau iradiasi. Sekitar 90% dari pasien dapat mengalami operasi ekstremitas (penyelamatan), komplikasi, seperti infeksi, melonggarkan prostetik, atau pengangkatan tumor lokal dapat menyebabkan operasi lebih lanjut (amputasi).
           Penyebab osteosarcoma tidak dikenal. Beberapa kelompok peneliti sedang menyelidiki kanker sel induk dan potensinya menyebabkan tumor. Hubungan antara osteosarcoma dan fluorida telah diteliti, tidak ada hubungan yang jelas antara fluoridasi air dan kematian karena osteosarcoma.
           Banyak pasien mengeluhkan sakit pada malam hari, dan mungkin telah terjadi selama beberapa waktu. Jika tumor besar, dapat muncul sebagai pembengkakan. Tulang yang terkena tidak sekuat tulang normal dan mungkin fraktur dengan trauma ringan (patah tulang patologis).
           Patofiologis. Kemungkinan tumor terlokalisasi pada akhir tulang panjang, dapat mempengaruhi ujung atas tibia atau humerus, atau ujung bawah tulang paha. Osteosarcoma cenderung mempengaruhi daerah sekitar lutut di 60% kasus, 15% di sekitar pinggul, 10% di bahu, dan 8% di rahang. Tumor bersifat, solid, keras, tidak teratur ("cemara-pohon," "dimakan ngengat" atau "sun-burst" penampilan pada pemeriksaan X-ray) karena tumor spikula kalsifikasi tulang memancar di sudut kanan. Sudut siku-siku ini membentuk apa yang dikenal sebagai segitiga Codman's, pada jaringan sekitar tumor. Mikroskopis: Fitur karakteristik osteosarcoma, terdapat osteoid (pembentukan tulang) dalam tumor. Sel tumor sangat pleomorfik (anaplastik), beberapa raksasa, banyak mitoses atipikal. Sel ini menghasilkan osteoid menggambarkan trabekula tidak teratur (amorf, eosinofili/pink) dengan atau tanpa kalsifikasi sentral (hematoxylinophilic / biru, granular) tulang tumor. Sel tumor termasuk dalam matriks osteoid.Tergantung pada fitur yang hadir tumor sel (apakah mereka menyerupai sel-sel tulang, sel-sel tulang rawan atau sel fibroblast). Osteosarcomas mungkin menunjukkan multinuklear sel osteoklas raksasa.
           Diagnosis, para dokter dan orthopedis banyak yang terkecoh oleh tumor ini, kebanyak pasien didignosiskista atau masalah pada otot sehingga langsung dianjurkan terapi fisik tanpa x-ray, namun sebenarnya diagnosis osteosarcoma yang benar adalah dengan menggunkan x-ray, kombinasi scan (CT scan, PET scan, bone scan, MRI) dan biopsi bedah. Bioptis tulang merupakan satu-satunya cara yang dapat menetukan kepastian dari tumor ini jinak atau ganas, dan harus dilakukan oleh orthopedic yang berkualitas.
           Pemeriksaan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
·   Tahap I
   Osteosarcoma parosteal yang jarang atau rendah dengan reseksi luas >90%.
·   Tahap IIb
Pemeriksaan, bergantung pada lokasi tumor, ukuran, massa, dan derajat necrosis.
·   Tahap III
Presentasi awal tahap ke III, dengan metastasis paru-paru bergantung pada respectability tumor primer dan nodul paru-paru, derajat nekrosis tumor primer, dengan keseluruhan persentasi sebesar 30%.
           Pengobatan. Pasien dengan osteosarcoma harus ditangani oleh onkologi medis dan onkologi ortopedi berpengalaman. Pengobatan yang dapt dilakukan saat ini adalah dengan menggunakan kemoterapi neoadjuvant (kemoterapi diberikan sebelum operasi) diikuti oleh reseksi bedah. Persentase sel tumor nekrosis (kematian sel) dilihat setelah operasi memberikan prognosis dan memungkinkan oncologist tahu apakah rezim kemoterapi harus diubah setelah operasi. Terapi standar adalah kombinasi anggota badan-sisa bedah ortopedi jika mungkin (atau amputasi dalam beberapa kasus) dan kombinasi metotreksat dosis tinggi dengan penyelamatan leucovorin, cisplatin intra-arteri, adriamisin, ifosfamid dengan mesna, BCD, etoposid, muramyl tri-peptite (MTP). Rotationplaasty, merupakan teknik bedah lain yang dapat digunakan. Ifosfamid dapat digunakan sebagai pengobatan jika tingkat nekrosis rendah. Keberhasilan kemoterapi osteosarcoma, sangat bervariasi tergantung pada tingkat nekrosis individu. Cairan diberikan untuk hidrasi, sementara obat-obatan seperti kytril dan zofran membantu menghilanglan mual dan muntah. Neupogen, Epogen, Neulasta membantu menambah jumlah sel darah putih dan jumlah neutrofil, dan transfusi darah dapat membantu dari anemia.

XI.  Insomnia
            Insomnia adalah masalah umum dalam akhir kehidupan . Masalah tidur
pada lansia sering keliru dianggap sebagai bagian normal dari penuaan. Insomnia, gangguan tidur paling umum, adalah tidur kurang atau tak-menyegarkan meskipun waktu untuk tidur cukup. Terlepas dari kenyataan bahwa lebih dari 50% dari usia lanjut dengan insomnia, biasanya tak-dikelola, dan intervensi non-farmakologis kurang dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.
            Fisiologis. Dua faktor utama mengendalikan kebutuhan fisiologis untuk tidur yaitu, kuantitas total tidur (rata-rata 8 jam tidur setiap 24 jam), dan irama harian kantuk dan kewaspadaan.
            Skala tidur berubah secara signifikan pada individu usia lanjut sehat.
waktu yang dihabiskan di tempat tidur terjaga setelah selesai. Perubahan fisiologis alami pada irama sirkadian mempengaruhi banyak usia lanjut untuk pergi tidur lebih awal dan bangun lebih awal. Faktor-faktor ini dapat menyumbang kemerosotan pada kualitas tidur dan tidur total kurang. Pada usia lanjut, lamanya tidur REM cenderung lebih diawetkan, tetapi latensi tidur secara signifikan menurun, hal ini menunjukkan bahwa usia lanjut lebih mengantuk daripada populasi muda. Disamping itu, usia lanjut juga merasakan  lebih sulit untuk tetap terjaga di siang hari, meskipun peningkatan lamanya relatif kecil dibandingkan dengan peningkatan yang substansial dalam frekuensi tidur.

SIGNIFIKANSI KLINIS
Perubahan fisiologis atas penuaan, kondisi lingkungan, dan penyakit medis kronis menyumbangkan insomnia pada usia lanjut. Gangguan tidur pada usia lanjut dihubungkan dengan penurunan memori, konsentrasi terganggu, dan kinerja fungsional terganggu. Hal tersebut menyumbangkan peningkatan risiko kecelakaan, jatuh, dan kelelahan kronis.  Kebanyakan obat tradisional yang untuk mengobati insomnia dihubungkan dengan efek samping yang mengkhawatirkan pada penduduk usia lanjut. Tindakan tidur pada lanjut usia harus dipertimbangkan sebagai terapi dini pertama.

PENYEBAB
Insomnia dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: sementara (tidak lebih dari beberapa malam), akut (kurang dari 3-4 minggu), dan kronis (lebih dari 3-4 minggu). Insomnia sementara atau akut biasanya terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat gangguan tidur dan sering berhubungan dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Insomnia akut: (penyakit medis akut, rumah sakitan, perubahan pada lingkungan tidur, obat-obatan, jet lag, dan stresor psikososial akut atau berulang). Insomnia kronis atau jangka panjang dapat dikaitkan dengan berbagai dasar kondisi medis, perilaku, dan lingkungan
dan berbagai obat-obatan. Dibawah ini akan disebutkan beberapa hal yang menyebabkan imsomnia penyebab insomnia kronis:
1.    Gangguan irama sirkadian:
·         Sindrom fase tidur lanjut
·         Sindrom fase tidur terlambat
-       Apnea tidur (obstruktif, pusat, atau campuran)
-       Sindrom tungkai resah
-       Gangguan gerak ekstremitas periodik (mioklonus malam)
-       REM, gangguan perilaku
2.    Penyakit Fisik:
Nyeri: artritis, nyeri muskuloskeletal, kondisi menyakitkan lainnya. Jantung pembuluh darah: gagal jantung, sesak napas malam hari, angina malam hari.
Paru: penyakit paru obstruktif kronik, rinitis alergi (sumbatan hidung) Gastrointestinal: penyakit refluks gastroesofageal, penyakit tukak lambung, sembelit, diare, pruritus ani
Kemih: kencing malam dan retensi, pengosongan kandung kemih tidak lengkap, inkontinensia.
Sistem saraf pusat: strok, penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, gangguan kejang Psikiatri penyakit: kecemasan, depresi, psikosis, demensia, delirium Pruritus Henti haid (semburat panas)

3.    Perilaku: tidur siang, penggunaan tempat tidur dini, menggunakan tempat tidur untuk aktivitas lain (misalnya, membaca dan menonton televisi), makan berat, kurang olahraga, dan gaya hidup bermalasan.

4.    Lingkungan: suara, cahaya dan gangguan lainnya, suhu ekstrim, tempat tidur tak nyaman, dan kurangnya pajanan sinar matahari.

5.    Pengobatan: Stimulan sistem saraf pusat: sympathomimetics, kafein, nikotin, antidepresan, amfetamin, efedrin, fenilpropanolamin, fenitoin. 

DAMPAK GANGGUAN TIDUR
Gejala khas gangguan tidur pada usia lanjut termasuk kesulitan mempertahankan tidur, bangun awal pagi, dan ngantuk di siang hari yang berlebihan. Secara fisik dan mental penderita insomnia bisa menjadi kecapaian, cemas, dan mudah tersinggung. Sebagaimana pendekatan waktu tidur, penderita insomnia menjadi lebih tegang, cemas, dan khawatir tentang masalah kesehatan, kematian, kerja, dan pribadi.
Masalah tidur mungkin memiliki dampak negatif pada kualitas hidup yang terkait kesehatan dengan peningkatan risiko kecelakaan, rasa tak enak, dan kelelahan kronis. Kualitas tidur yang buruk dikaitkan dengan penurunan memori dan konsentrasi, dan gangguan kinerja dalam uji psikomotorik. Gangguan tidur juga dikaitkan dengan peningkatan risiko jatuh, penurunan kognitif, dan tingkat kematian lebih tinggi.

PENDEKATAN INSOMNIA
Langkah pertama dalam mengevaluasi masalah tidur pada usia lanjut yaitu, menetapkan bahwa orang tersebut benar-benar telah insomnia. Langkah berikutnya adalah untuk menentukan gangguan tidur yang dominan. Ketika mempertimbangkan pola tidur pasien akan sangat membantu untuk berpikir tentang kualitas, lamanya, jumlah terbangun, dan waktu. Hal ini sering berguna untuk memiliki pasien yang buku catatan harian tidur lengkap 1 minggu 1 atau 2-minggu. Catatan ini harus menunjukkan tidur biasanya pasien, waktu terbangun, tempo dan kuantitas makanan, penggunaan alkohol, olahraga, obat-obatan (resep dan obat bebas), dan deskripsi lamanya dan kuantitas tidur setiap hari.
Hal ini sering berguna untuk memiliki pasien yang buku catatan harian tidur lengkap 1 minggu 1 atau 2-minggu. Catatan ini harus menunjukkan tidur biasanya pasien, waktu terbangun, tempo dan kuantitas makanan, penggunaan alkohol, olahraga, obat-obatan (resep dan obat bebas), dan deskripsi lamanya dan kuantitas tidur setiap hari.
Pendekatan ke Pasien Usia Lanjut dengan Insomnia
·           Riwayat tidur:
-     Pastikan bahwa pasien insomnia
-     Identifikasi gejala (awitan, lamanya, pola, dan keparahan)
-     Evaluasi pola tidur / terjaga 24-jam
-     Tinjau buku harian tidur 1 sampai 2-minggu
·           Wawancara mitra tidur
-     Periksa riwayat keluarga gangguan tidur
-     Identifikasi penyebab
·           Gangguan tidur primer
-     Penyakit medis
-     Penyakit kejiwaan
-     Perilaku
-     Lingkungan
-     Pengobatan
·           Evaluasi dampak pribadi dan sosial dari gangguan tidur:
-     Pemeriksaan fisik menyeluruh
-     Penyelidikan laboratorium yang tepat
-     Pengobatan
·           Rujuk ke spesialis tidur jika perlu
Dalam mengambil riwayat medis dan pengobatan umum, dokter harus mengidentifikasi kondisi dan obat-obatan yang diketahui terkait dengan tidur terganggu. Efek perancu potensial dari obat, alkohol, dan penyalahgunaan zat harus dinilai pada semua pasien yang menyajikan dengan masalah tidur. Insomnia bertepatan dengan pemasukan obat baru harus dikaitkan dengan obat tersebut yang sampai dibuktikan lain.
Evaluasi lebih lanjut harus mencakup kondisi mental rinci dan pemeriksaan kejiwaan, penyelidikan laboratorium termasuk fungsi tiroid, panel kimia serum, studi jantung-paru jika diindikasikan, dan penilaian lingkungan tidur. Merujuk pasien ke spesialis tidur untuk evaluasi mungkin diperlukan. valuasi lebih lanjut harus mencakup kondisi mental rinci dan pemeriksaan kejiwaan, penyelidikan laboratorium termasuk fungsi tiroid, panel kimia serum, studi jantung-paru jika diindikasikan, dan penilaian lingkungan tidur. Merujuk pasien ke spesialis tidur untuk evaluasi mungkin diperlukan.

PENGOBATAN
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien dan keluarga. Perawatan yang tepat insomnia memiliki potensi membalik morbiditas terkait insomnia, termasuk risiko depresi, cacat, dan gangguan kualitas hidup. Selanjutnya, pengelolaan yang optimal dari insomnia dapat meningkatkan produktivitas pasien dan kognitif, dan penurunan penggunaan perawatan kesehatan dan risiko kecelakaan. Pengobatan yang dapat dilakukan anatara lain:
a.      Non Farmakologis
Insomnia biasanya tak terobati, dan intervensi non farmakologis kurang dimanfaatkan oleh praktisi perawatan kesehatan. Pengelolaan insomnia yang sekunder terhadap kesakitan medis, seperti nyeri atau sesak napas, harus dimulai dengan proses pengobatan penyakit utama. Penyesuaian dosis dan waktu pemberian obat juga dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas tidur. Dalam konseling insomniak, akan sangat membantu untuk menetapkan ekspektasi yang wajar dan menjelaskan bagaimana kecemasan berpartisipasi dalam lingkaran setan yang memperparah dan mempertahankan kondisi tersebut. Jika minimal atau tidak ada gangguan dalam fungsi siang hari yang dilaporkan, pasien mungkin hanya perlu meyakinkan bahwa gejala tidak patologis atau merusak.
Intervensi non-farmakologis "higiene tidur" yang menargetkan sumber masalahnya masih dapat diimplementasikan pertama dalam situasi ini, dan harus dilanjutkan bahkan ketika obat diperlukan. Intervensi fisiologis seperti berjalan siang hari dengan pajanan waktu siang hari berjangka yang benar berguna untuk insomnia. Kendali suhu yang tepat, ventilasi yang memadai, dan lingkungan tidur gelap juga dapat menyebabkan peningkatan dramatis dalam kualitas tidur.



b.      Farmakologis
Lima prinsip dasar yang menjadi ciri farmakoterapi rasional untuk insomnia, penggunaan dosis efektif terendah, penggunaan dosis berselang (2 sampai 4 kali seminggu), peresepan obat jangka-pendek (penggunakan teratur untuk tidak lebih dari 3 sampai 4 minggu), dan penghentian obat bertahap untuk mengurangi insomnia pantulan.
Pengobatan dengan waktu-paruh eliminasi lebih pendek secara umum lebih dipilih untuk meminimalkan sedasi di siang hari. Pemilihan obat harus didasarkan pada adanya dan keparahan gejala siang hari, terutama dampak pada fungsi siang hari dan pada kualitas hidup pasien. Hasil farmakologis yang diharapkan meliputi peningkatan pengawitan tidur, pemeliharaan tidur tanpa efek mabuk, dan peningkatan fungsi hari berikutnya. Perjanjian harus dicapai pertama selama pengobatan dengan obat, biasanya beberapa hari, karena itu mungkin sulit untuk menghentikan pengobatan setelah penggunaan jangka-panjang. Pemakaian yang tepat adalah akut, penggunaan jangka-pendek (tidak lebih dari 2-3 minggu) dalam kombinasi dengan terapi perilaku.
Dengan pendekatan ini ada kurang potensial untuk penyalahgunaan karena lebih sedikit dosis obat yang diperlukan. Namun, banyak pasien dapat memperoleh manfaat dari penggunaan jangka-panjang, praktek yang tidak membutuhkan dosis malam tetapi pemakaian obat dalam menanggapi terjadinya gejala. sedikit dosis obat yang diperlukan. Namun, banyak pasien dapat memperoleh manfaat dari penggunaan jangka-panjang, praktek yang tidak membutuhkan dosis malam tetapi pemakaian obat dalam menanggapi terjadinya gejala.

c.      Benzodiazepines
Benzodiazepin (BZD) memperbaiki insomnia dengan mengurangi tidur REM, menurunkan latensi tidur, dan menurunkan terbangun malam hari. Penyerapan BZD tidak terpengaruh oleh penuaan, namun penurunan massa otot, penurunan protein plasma, dan peningkatan lemak tubuh yang terlihat pada usia lanjut mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat tak-terikat dan peningkatan waktu paruh eliminasi obat. BZD kerja-panjang dengan demikian sebaiknya dihindari.
Insomnia pantulan dapat terjadi dalam 1 atau 2 minggu penggunaan, dan ditandai dengan perburukan tidur relatif terhadap garisdasar. BZD sering menimbulkan efek mabuk. Bahkan BZD kerja-pendek dapat mengganggu kinerja psikomotor dan memori hari berikutnya. Toleransi terhadap efek hipnotik BZD merupakan isu penting. BZD pada awalnya sangat efektif dalam mendorong dan memperpanjang tidur, namun toleransi berkembang pesat pada pemakaian ulangan. BZD juga berkaitan dengan kecanduan, sedasi di siang hari, jatuh pusing, patah tulang pinggul, dan kecelakaan mobil. Kecelakaan lebih sering terjadi dengan bahan-bahan paruh-waktu lama atau pada pasien dengan gangguan tidur karena penggunaan jangka panjang. Temazepam, BZD yang biasa digunakan, digunakan dalam insomnia pemeliharaan tidur, memiliki waktu paruh 8 sampai 25 jam, dan dapat diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg pada malam hari.

d.      Antidepresan
Trazodon. Trazodone adalah antidepresan non trisiklik dengan sifat menenangkan yang sering digunakan dalam dosis rendah sebagai hipnosis. Kebenaran kemanjuran terapi obat ini pada penderita insomnia tak depresi masih belum diketahui. Trazodon adalah salah satu obat antidepresi paling menenangkan dan telah dilaporkan meningkatan TGL. Obat ini sering digunakan untuk mengobati pasien depresi dengan insomnia yang signifikan. Data yang disajikan oleh Walsh dan Schweitzer menunjukkan bahwa trazodon digunakan untuk insomnia lebih sering daripada obat resep lainnya. Bukti awal menunjukkan bahwa dosis rendah trazodon dapat menguntungkan pada pasien dengan insomnia terinduksi psikotropika, insomnia terinduksi penghambat monoamin oksidase, atau kontraindikasi untuk BZD.

XII.  Diabetes Melitus pada Lansia
Tubuh tak mampu memanfaatkan glukosa darah karena gangguan pada fungsi pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin
Jenis :
a.   Tipe I
-     Diabetes tergantung insulin
-     Kelainan genetik
-     Perlu insulin eksogen (defisien insulin absolut)
b. Tipe II
-     Diabetes tidak tergantung insulin
-     insulin resistance (defisien relatif)
-     Terapi dengan mengatur diet
Gejala Klasik DM
-       Hiperglikemia (gula darah tinggi)
-       Glukosuria (gula dalam air seni)
-       Poliuria (banyak buang air kecil)
-       Polifagia (banyak makan)
-       Polidipsia (banyak minum)
-       Ketoasidosis
XIII.  Inkontinensia Urin
    Inkontinensia Urin kerap dianggap hal normal dalam penuaan dan tidak bisa diatasi. Padahal, ada penanganan yang tepat hingga pasien dapat hidup lebih nyaman dan meminimalkan biaya perawatan kesehatan
        Meski proses menua dianggap sebuah kewajaran, namun ada konsekuensi penurunan fungsi tubuh pada lansia. Orang tua, akan mengalami perubahan baik fisik, kognitif, sosial, dan psikologis akibat regenerasi sel yang menurun, atau tingkat hormon yang berkurang. Perubahan segala sisi itu akan menyebabkan ketergantungan lansia pada keluarga atau orang terdekat mereka. Pemeliharaan kese­hatan, seperti yang dikatakan Ical, adalah salah satu upaya untuk meminimalkan ketergantungan lansia pada orang sekitarnya.
Seperti kembali ke masa kanak-kanak, lansia kerap mengalami keluhan mengompol atau inkontenensia urin (IU). Prevalensinya, menurut data RSCM, terdapat pada hampir 60 persen pasien di panti rawat usia lanjut, 25-30 persen pasien yang baru pulang dari perawatan penyakit akut. Hasil survey Poliklinik Geriatri tahun 2006 menempatkan perempuan menduduki porsi lebih besar, yaitu 55,6 persen dam laki-laki 44,4 persen.
IU yang kedengarannya sepele, dapat berdampak serius bagi lansia tersebut maupun orang sekitarnya. Lingkungan menjadi kotor, berbau, meningkatkan risiko jatuh, dan lain sebagainya. “Secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan masalah medis, psikologis, sosial, dan ekonomi,” ujar Dr. Edy Rizal Wahyudi, SpPD. Karena itu, IU harus dapat dideteksi dan disembuhkan. “Jika tidak, IU selalu dapat ditangani hingga tetap membuat pasien nyaman, memudahkan pramurawat, dan meminimalkan biaya,” ujar Edy lagi. 
IU Akut.
Penanganan IU akut pada usia lanjut berbeda tergantung kondisi yang dialami pasien. Penyebab IU akut antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
IU akut juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.
Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi nonfarmakologik atau farmakologik yang tepat.
IU Persisten, mengompol juga ada yang bersifat menetap dan tidak terkait dengan  penyakit akut, disebut IU persisten. stress, urgensi, overflow, dan gangguan fungsional adalah faktor penyebabnya. Tipe stress didefinisikan sebagai keluarnya urin involunter tatkala terdapat peningkatan tekanan intraabdomen, seperti batuk, tertawa, olahraga, dan lain-lain.  Sedangkan urgensi adalah keluarnya urin akibat ketidakmampuan menunda berkemih tatkala timbul sensasi keinginan untuk berkemih. Overflow adalah keluarnya urin akibat kekuatan mekanik pada kandung kemih yang overdidtensi atau factor lain yang berfek pada retensi urin dan fungsi sfingter.
            Ada atau tidak ada keluhan yang dilaporkan oleh pasien dan keluarganya, deteksi atau identifikasi harus dilakukan melalui observasi langsung atau menanyakan pertanyaan-pertanyaan penapisan IU. Selanjutnya dilakukan evaluasi dasar dengan pengkajian paripurna, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap dan penunjang lainnya yang bertujuan mengidentifikasi penyebab inkontinensia yang bersifat sementara. Berdasarkan evaluasi dasar tersebut akan ditegakkan diagnosis presumtif dan diberikan terapi percobaan. “Jika diagnosis presumtif tidak dapat dibuat atau terapi percobaan tidak efektif, pasien harus menjalani evaluasi lanjutan yang lebih kompleks.

XIV.  Sindroma Delirium Akut
Sindrom dilirium akut (acut confusional state/ACS) adalah sindrom mental organik yang ditandai denmgan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktusi.

DIAGNOSIS
v  Kriteriua diagnosis menurut Diagnostic and Ststistic Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan  untuk memusatkan, mempertahankan, atau menghilangkan perhatian, perubahan koghnitif (gangguan daya ingat, disorientasi, atau gangguan bahasa) atau titimbulnya gangguan persepsi yang bukan akibat demensia, gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis,pemeriksaan fisik,atau pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum maupun akibat intoksikasi, efek samping, atau putus obat/zat.
v  Harus dicari faktor pencetus dan faktor risikonya
Ø  Pencetus yang sering: gangguan metabolik (hipoksia,hiperkarbia, hipo atatu hiperglikemia, hiponatremia,azotemia),infeksi (sepsis,pneumonia,infeksi saluran kemih), penurunan cardiac output (dehidrasi, kehilangan darah akut, infrak
miokard akut, gagal jantung kongensif), strok (koteks kecil), obat – obatan
(terutama antikolinergik), intoksikasi (lakohol,dll), hipo atau hipertermia, lesi
sistem familiar, impaksi fekal, dan retensi urin
Ø  Faktor risiko: riwayat gangguan kognitif, berusia lebih dari 80 tahun, mengalami frktur saat masuk perawatan, infeksi yang simtomatik, jenis kelamin pria,mendapat obat antipsikotik atau analgesik narkotik, penggunaan pengikat,malnutrisi, penambahan 3 atau lebih obat, dan pengguanaan kateter urin.


TERAPI
-     Berikan oksigen, pasang infus dan monitor
-     Segera dapatkan haisl pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah selanjutnya; tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus.
-     Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik
-     Karteter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontensia urin.
-     Awsi kemungkinan imobilisasi (lihat topik imobilisasi) .
-     Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika memang diperluka,gunakan dosis terewndah obat neuropatik dan atau benzodiazepin dan monitor status neurologisnya;pertimbangkan penggunaan antipsikotik atipikal. Kaji ulang pembatasan penggunaan obat tidur secepatnya.
-     Kaji status hidrasi secara berkala.
-     Ruang tempat pasien harus berpenerangan cukup, terapat jam dan kalender yang besar dan jika memungkinkan diletakkan barang – barang yang familiar bagi pasien dari rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya sesring mungkin mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis sudah memungkinkan pakai alat Bantu denganr atau kacamata yang biasa digunakan oleh pasien sebelumnya, motivasi untuk berintraksisesering mungkin dengan keluarga dan tenaga kesehatan, evaluasi strategi orientasi realitas; bveritahu kepada pasien bahwa dirinya sedang bingung dan disorientasi namun kondisi tersebut dapat membaik.

KOMPLIKASI
Fraktur, hipotensi sampai renjatan, trombosis vena dalam, emboli paru, sepsis

XV.  Konstipasi
Mengatasi Konstipasi pada Usia Lanjut. Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi berlangsung singkat adalah normal. Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) berdasarkan National Health Interview Survey tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita, dan orang usia di atas 65 tahun. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2,5 juta kali per tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dollar AS untuk obat-obatan pencahar.
Menurut situs National Institute on Aging, AS, konstipasi adalah suatu gejala, bukan penyakit. Konstipasi didefinisikan sebagai frekuensi buang air besar kurang dari normal dengan waktu yang lama serta kesulitan dan rasa sakit dalam mengeluarkan tinja. Konstipasi memang lebih banyak dialami usia lanjut dibanding usia muda. Di sisi lain orang usia lanjut sering terpancang dengan kebiasaan buang air besar sejak masa kanak-kanak dan masa muda. Padahal, seiring pertambahan usia, fungsi tubuh bisa menurun.
Namun, orang usia lanjut tidak perlu terlalu khawatir, belum ada batasan mengenai periode normal dari buang air besar. Ada orang yang buang air besar dua–tiga kali sehari, ada yang dua kali seminggu. Pedoman untuk menentukan seseorang menderita konstipasi adalah buang air besar kurang dari dua kali seminggu, sulit mengeluarkan tinja, ada rasa nyeri serta masalah lain seperti tinja disertai darah. Jika tak ada gejala itu, bukan konstipasi.

Penyebab
Ada sejumlah sebab yang mendasari konstipasi, dari kurang gerak, kurang minum, kurang serat, sering menunda buang air besar, kebiasaan menggunakan obat pencahar, efek samping obat-obatan tertentu sampai adanya gangguan seperti usus terbelit, usus tersumbat sampai kanker usus besar.
Menurut Kris, defekasi atau buang air besar seperti halnya berkemih adalah suatu proses fisiologik yang melibatkan kerja otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisik untuk mencapai tempat buang air besar. Karena banyaknya mekanisme yang terlibat, konstipasi menjadi sulit didiagnosis dan dikelola/diobati.
Proses buang air besar dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang mengantarkan tinja ke rektum (poros usus) untuk dikeluarkan. Tinja masuk dan meregangkan pipa poros usus diikuti relaksasi otot lingkar dubur dan kontraksi otot dasar panggul. Poros usus akan mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Pengukuran aktivitas motorik usus besar pada penderita konstipasi dengan elektrofisiologik menunjukkan pengurangan respons motorik usus besar akibat degenerasi jaringan saraf otonom di selaput lendir usus. Ditemukan pula pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Selain itu, ada kecenderungan menurunnya tegangan jaringan otot lingkar dubur dan kekuatan otot polos berkaitan dengan usia, terutama pada wanita.

Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Namun demikian, papar Kris, pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar. Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi.
Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus.
Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissura (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.  Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.

XVI.   TUBERCULOSIS PARU

Tuberculosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobakterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi, diantaranya adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam derajad rendah, nyeri dada dan batuk darah. (Mansjoer, Arief, 473:2001). TBC adalah penyakit akibat infeksi kuman “Mycobakterium Tuberculosis Sistem” sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak diparu yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. (Mansjoer, Arief, 459:2001). TBC adalah penyakit TB paru atau disebut penyakit batuk darah yang disebabkan oleh kuman TBC yaitu “Mycobakterium Tuberculosis” (Depkes,2000)

ETIOLOGI

TBC disebabkan oleh kuman TBC yaitu Mycobakterium tuberculosis yang berukuran 0,3 X 2-4 cm. Sifat kuman ini adalah aerob yaitu lebih menyenangi hidup pada jaringan yang tinggi kadar oksigen dan juga bersifat dormant didalam sel yaitu basil tidak aktif tetapi bila keluar dari sel maka basil akan berkembang biak, pada penderita akan mengalami kekambuhan. Kuman lebih tahan terhadap asam (BTA/Basal Tahan Asam) dan lebih tahan lagi terhadap gangguan kimia dan fisik, tidak dapat terlihat oleh mata telanjang, mati pada air mendidih, mudah mati bila terkena sinar matahari, tahan hidup pada kamar yang lembab, dapat berkembangbiak dalam sel (intra sel maupun diluar sel/ekstra sel). Ada beberapa factor yang mempengaruhi dapat terjadinya infeksi TBC, Yaitu keganasan basil TBC. Jumlah basil yang cukup banyak, adanya sumber penularan, daya tahan tubuh yang menurun yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu keturunan, usia, nutrisi yang kurang dan penyakit diabetes mellitus.

 

PATOFISIOLOGI

Ada tiga pintu masuk Mikroorganismre Mycobakterium Tuberkulosis yaitu saluran pernafasan, saluran cerna, dan luka terbuka pada kulit. Tetapi Kebanyakan infeksi TBC melalui pintu saluran pernafasan. Mula-mula basil TBC yang dapat terbang dari penderita yang sedang berbicara, bersin atau bernmyanyi terhisap oleh orang lain. Kemudian basil – basil tersebut langsung masuk melalui jalan nafas dan menempel ada permukaan alveolar dari parenkim pada bagian bawah lobus atau bagian atas lobus bawah. Kemudian leukosit dari tubuh memakan bakteri tersebut, tetapi bakteri tersebut tidak mati dan infeksi menyebar melalui saluran getah bening, dan terbentuklah suatu infeksi Tuberkulosis primer yaitu suatu peradangan yang terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mycobakteriun tuberculosa. Dalam perjalanan penyakit yang lebih lanjut, sebagian besar penderita TB paru primer (90%) akan sembuh sendiri dari 10% akan mengalami penyebaran eksogen yaitu karena infeksi baru dari luar dan proses ini disebut TBC Paru Post Primer. TBC post Primer kerusakan jaringan lebih cepat, karena sudah ada kekebalan terhadap infeksi basilTBC. Fokus infeksi jaringan paru yang disebut kavitas. Bila kavitas tersebut lama-lama diliputi oleh anyaman pembuluh bakteri, dan bila pecah dapat mengakibatkan kematian, karena saluran nafas tersumbat oleh bekuan darah. Bila daya tahan tubuh melemah maka basil akan menyebar ke paru lain, bahkan menyebar melalui aliran limfe dan darah ke organ lain.

 

TANDA DAN GEJALA

a.   Demam

Bersifat subfebris menyerupai demam influenza,tetapi kadang panas badan dapat mencapai 40-41 C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar tetapi kemudian dapat kambuh kembali. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman Tuberculosis yang masuk.

b. batuk / batuk darah

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, sifat batuk dimulai dari kering (non – produktif ) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah terjadi kavitas, tetapi data juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

c. Sesak nafas

Pada penyakit bringan (baru timbul) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi paru-paru.

D. Nyeri dada

Nyeri dada timbul bila infiltrasi sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.

E. Malaise

Gejala malaise ditemukan berupa intake tidak adekuat, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin berat dan terjadi hilang timbul secara teratur ( Sarwono waspadji,2001).


XVII.   ASMA  
Asma adalah suatu peradangan kronis dari tabung bronchial (saluran udara) yang menyebabkan pembengkakkan dan penyempitan (constriction) dari saluran-saluran udara. Akibatnya adalah kesulitan bernapas. Penyempitan bronchial umunya dapat dibalikkan baik secara total atau paling sedikit sebagian dengan perawatan-perawatan. Tabung-tabung bronchial yang beradang kronis mungkin dapat menjadi sangat sensitif pada alergen-alergen (pemicu-pemicu spesifik) atau pengganggu-pengganggu/irritants (pemicu-pemicu nonspesifik). Saluran-saluran dapat menjadi "gugup" dan menetap dalam suatu keadaan kepekaan (sensitivity) yang tinggi. Ini disebut "Bronchial Hyperreactivity" (BHR). Kemungkinan besar ada suatu spektrum dari hiper kereaktifan brochial didalam semua individu-individu. Bagaimanapun, adalah jelas bahwa individu-individu yang menderita asma dan alergi (tanpa asma yang terlihat) mempunyai suatu derajat yang lebih besar dari hiperkereaktifan bronchial dari pada orang-orang yang bukan penderita asma dan alergi. Pada individu-individu yang peka (sensitif), tabung-tabung bronchial lebih mungkin membengkak dan menyempit ketika diskspose pada pemicu-pemicu seperti alergen-alergen (penyebab-penyebab alergi), asap rokok, atau latihan. Diantara penderita-penderita asma, beberapa orang mungkin mempunyai BHR yang ringan dan tidak ada gejala-gejala sedangkan yang lain-lain mungkin mempunyai BHR yang berat dan gejala-gejala kronis.

Gejala Klinis                          
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. (Medicafarma,2008)
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama sekali. Batuk hamper selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat. (Medicafarma,2008)
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah akibat respons hipoksemia. (Medicafarma,2008)

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
(Medicafarma,2008)
Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan. (Medicafarma,2008)

2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
- Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru. (Medicafarma,2008)

3. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. Pemeriksaan menggunakan tes tempel. (Medicafarma,2008)
4. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
- Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clockwise rotation.
- Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
- Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative. (Medicafarma,2008)
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. (Medicafarma,2008)






























DAFTAR PUSTAKA

1.  Hamid, Almisar. 2007. Penduduk Lanjut Usia di Indonesia dan Masalah
    Kesejahteraannya. Diunduh pada tanggal 04 Oktober 2010 pada
2. Darmojo, Boedhi. 2010. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai penerbit
    FKUI
3. Aprilianti, Ika Fitri. 2009. Penyakit yang Sering Terjadi pada Lansia. Diunduh
    pada tanggal 22 November 2010 pada http://stikeskabmalang.wordpress.com
4. Siburian, Prima. 2007. Empat Belas Masalah Kesehatan Utama pada Lansia.    
    Diunduh pada tanggal 22 November 2010 pada www.waspada.co.id
5. Kadir, Subhan. 2008. Kesehatan Lansia diIndonesia. Diunduh pada tanggal 22
    November 2010 pada teguhsubianto.blogspot.com
6. Anonim. 2009. Osteoartritis. Diunduh pada tanggal 13 Desember 2010 pada
7. Kartika. 5 Oktober 2010. Osteoartritis. Diunduh pada tanggal 13 Desember
    2010 pada id. wikipedia.org                 
8. Lilaroja. 13 November 2010. Osteoporosis. Diunduh pada tanggal 13
    Desember 2010 pada id. wikipedia.org
9. Anonim. Diunduh pada tanggal 13 desember 2010 pada
10. Anonim. 01 Desember 2010.Apa itu osteosarcoma. Diunduh pada tanggal 13
     Desember 2010. www.news-medical.net
11. Nabil S. K, Julie K. Gammack. 2006. Insomnia pada Usia Lanjut :Penyebab,
     Pendekatan, dan Pengobatan. Diunduh pada tanggal 14 Desember 2010 pada
     www.ncbi.mlm






INDEKS

Glukosamin     : Molekul gula amino yang biasa terdapat pada kulit crustasea                                  (udang), artropoda, dan dinding selcendawan, dapat diperoleh langsung dari suplemen makanan komersial atau minuman susu tersuplementasi.
Kondroitin        : Suplemen makanan yang biasa digunakan bersama glukosamin.                           Senyawa rantai gula bercabang yang menyususun tulang rawan. Di Indonesia,kondroitin dapat diperoleh dari suplemen makanan.
Ekserbasi        : Kenaikan penyakit berkala ditandai dengan demam teru-
                          menerus, peningkatan energy dan timbul rasa sakit
Akut                 : Kritis
Arthritis            : Perdangan pada sendi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar